Ini adalah pertandingan terbesar dalam hidup saya, kata kiper Portugal Costa setelah keheroikan dalam adu penalti
Pertandingan berakhir 0-0 setelah perpanjangan waktu, dan Costa menjadi pahlawan setelah menjadi kiper pertama yang menyelamatkan tiga penalti dan tidak kebobolan gol dalam adu penalti Euro tersebut.
Kiper Portugal, Diogo Costa, sangat terharu setelah ia berhasil menyelamatkan ketiga penalti dalam kemenangan adu penalti 3-0 melawan Slovenia yang mengamankan tempat di babak perempat final Euro 2024.
Pertandingan berakhir 0-0 setelah perpanjangan waktu, dan Costa menjadi pahlawan setelah menjadi kiper pertama yang menyelamatkan tiga penalti dan tidak kebobolan gol dalam adu penalti Euro tersebut.
"Saya pikir ini adalah pertandingan terbesar dalam hidup saya," katanya kepada para wartawan. "Mungkin pertandingan di mana saya paling berguna. Saya sangat, sangat bahagia, dan saya juga sangat senang bahwa saya bisa membantu tim."
Pria yang menjadi pemain terbaik mencoba membaca bahasa tubuh para eksekutor penalti Slovenia, tetapi pada akhirnya, itu semua berdasarkan insting murni. "Apa yang saya pikirkan, saya harus menghentikannya - dan saya mengikuti naluri saya."
Meskipun pertandingan tetap tanpa gol setelah 90 menit, Cristiano Ronaldo memiliki kesempatan untuk memecahkan kebuntuan bagi Portugal dari titik penalti di babak pertama perpanjangan waktu.
Namun, kiper Slovenia Jan Oblak melakukan penyelamatan spektakuler untuk menahan tendangan kapten Portugal tersebut, membuat Ronaldo terlihat emosional dan menangis tersedu-sedu.
“Cristiano adalah pekerja keras terberat. Saya mengerti seberapa frustasinya dia - dia mengabdikan semua waktunya untuk ini,” kata Costa.
“Kami merasa bahwa kami perlu terus percaya. Setiap orang melakukan kesalahan. Tetapi yang penting adalah apa yang kita lakukan setelah membuat kesalahan ini,” tambahnya.
Bernardo Silva mencetak penalti kemenangan dalam adu penalti untuk Portugal, yang akan bertemu dengan Prancis - pemenang 1-0 atas Belgia pada Senin sebelumnya - di perempat final di Hamburg pada Jumat.
Friendship, some say, is a single soul residing in two bodies, but why limit it to two? What if friendship is more like a great, endless web, where each connection strengthens the whole? Maybe we are not separate beings at all, but parts of one vast consciousness, reaching out through the illusion of individuality to recognize itself in another.
If everything in this universe has a cause, then surely the cause of my hunger must be the divine order of things aligning to guide me toward the ultimate pleasure of a well-timed meal. Could it be that desire itself is a cosmic signal, a way for nature to communicate with us, pushing us toward the fulfillment of our potential? Perhaps the true philosopher is not the one who ignores his desires, but the one who understands their deeper meaning.
Man is said to seek happiness above all else, but what if true happiness comes only when we stop searching for it? It is like trying to catch the wind with our hands—the harder we try, the more it slips through our fingers. Perhaps happiness is not a destination but a state of allowing, of surrendering to the present and realizing that we already have everything we need.
The essence of existence is like smoke, always shifting, always changing, yet somehow always present. It moves with the wind of thought, expanding and contracting, never quite settling but never truly disappearing. Perhaps to exist is simply to flow, to let oneself be carried by the great current of being without resistance.
Time is often called the soul of motion, the great measure of change, but what if it is merely an illusion? What if we are not moving forward but simply circling the same points, like the smoke from a burning fire, curling back onto itself, repeating patterns we fail to recognize? Maybe the past and future are just two sides of the same moment, and all we ever have is now.
Virtue, they say, lies in the middle, but who among us can truly say where the middle is? Is it a fixed point, or does it shift with time, perception, and context? Perhaps the middle is not a place but a way of moving, a constant balancing act between excess and deficiency. Maybe to be virtuous is not to reach the middle but to dance around it with grace.